Rabu, 24 April 2013

Mahar Dalam Aturan KHI


MAHAR
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah “Hukum Perdata Islam di Indonesia (KHI)’’


Disusun Oleh :

Indah Fitriana  :  210210058

Dosen Pengampu :
Dr. Miftahul Huda, M.Ag.

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDY MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
OKTOBER 2012




BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Akad apapun dikatakan sah apabila memenuhi beberapa konsekuensi dalam pelaksanaanya. Akad pernikahan termasuk akad yang paling rumit ,urusannya penting, dan konsekuensinya besar. Agar dikatakan sah,akad pernikahan harus melalui beberapa tahapan , diantaranya saja hak kedua mempelai ,apa hak yang khusus bagi mempelai perempuan ,dan apa hak bagi mempelai laki-laki terhadap istrinya.
Berbicara tentang konsekuensi pernikahan , kita harus memaparkan hak-hak tersebut satu persatu . Pertama,kita akan mulai dari hak-hak perempuan . Adapun hak-hak istri yang wajib dipenuhi salah satunya  adalah mas kawin . Mas kawin atau sering disebut dengan mahar menjadi konsekuensi harta yang esensial bagi akad pernikahan.
Oleh karena itu kami kan membahas hakekat mahar dan yang berkaitan dengan mahar atau mas kawin dalam makalah ini.
B.    Rumusan Masalah
1.      Pengertian , hakekat , fungsi dan besarnya mahar
2.      Mahar dalam perspektif fiqh
3.      Mahar dalam perspektif KHI





BAB II

PEMBAHASAN

A.    .Penjelasan Istilah
Kata mahar yang telah menjadi menjadi bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-mahr , jama’nya al-muhur atau al-muhurah. Kata yang semakna dengan mahar adalah al shadaq,nihlah, faridhah, ajr, dan ‘ala’iq serta nikah . Kata- kata tersebut dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan mahar atau mas kawin.
Secara istilah mahar diartikan sebagai “harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad atau dukhul”.[1]
Atau mahar juga dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda ataupun dalam bentuk jasa ( memerdekakan , mengajar , dan lain sebagainya ).[2]
1.      Hakekat mahar
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya.
Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaan atau benda berharga lainnya.
Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya.[3]

2.      Mahar dalam perspektif fiqh
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita dengan memberi hak kepadanya diantaranya adalah hak untuk menerima mahar (mas kawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri kecuali dengan ridlo dan kerelaan san istri. Allah SWT berfirman:
واتواالنساءصدقتهن نحلة فان طبن لكم عن شئ منه نفسا فكلوه هنيا مرىآ (النساء: ع)                  
Artinya: “ Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka meyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu (sebagai makanan) yang sebaik-baiknya.” (Q.S. An-Nisa’:4)
            Para ulama’ sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya, baik kontan ataupun dengan cara tempo. Pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad pernikahan dan tidak dibenarkan menguranginya. Jika suami menambahnya, hal itu lebih baik dan sebagai shodaqo, yang dicatat yang dicatat sebagai mahar secara mutlak yang jenis dan jumlahnya, sesuai akad nikah.[4]
            Imam Syafi’i, Imam Malik dan Abu Dawud mewajibkan pembayaran mahar sepenuhnya apabila terjadi khalwat. Apabila telah terjadi khalwat antara suami-istri, dan dapat dijadikan dan dapat dijadikan dasar bahwa terjadi dukhul (persetubuhan) antara keduanya, pihak suami wajib membayar mahar sepenuhnya sebagaimana kesepakatan yang telah ditetapkan dalam akad nikah. Akan tetapi, apabila terdapat alat-alat bukti yang dapat menimbulkan keyakinan bahwa sekalipun keduanya telah berkhalwat, belum terjadi persetubuhan, dalam hal ini kalau suami menceraikan istrinya, ia tidak wajib membayar mahar sepenuhnya karena belum terjadi dukhul dan suami wajib membayar separuhnya saja.[5]
3.      Fungi mahar
Mahar bukanlah pembayaran yang seolah-olah menjadikan perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam syari’at islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya mahar, status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjual belikan.  Sayyid Sabiq mengatakan bahwa salah satu usaha islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. Adanya hak mahar bersamaan pula dengan hak-hak perempuan lainnya yang sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana adanya waris dan hak menerima wasiat.[6] Dan juga untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah untuk menceraikan istrinya sesukanya serta untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suuami istri.[7]
4.      Besarnya mahar
Ulama’ fiqh sepakat bahwa tidak ada batasan minimal dan maksimal jumlah mahar yang harus diberikan. Jumlahnya terserah pada kemampuan mempelai laki-laki asal dianggap layak. Tidak ada ketentuan dalam agama yang menunjukkan batasan maksimal yang tidak boleh melebihi hal itu.[8]  Imam syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar.  Tetapi sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.[9]    Mereka yang berpendapat mahar tidak ada batasannya karena mengikuti bahwa sabda Nabi SAW.,” Nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batasan terendahnya tentu beliau menjelaskannya.[10]

B.     Perspektif KHI

Di dalam KHI, mahar diatur di dalam pasal 30 sampai pasal 38 didalam pasal 30 dinyatakan:
           
Calon mempelai pria, wajib membayar mahar kepada calon mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal yang juga sangat penting diperhatikan adalah terdapat di dalam pasal 31 yang berbunyi:

Penentuan mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh agama islam.[11]

            Dengan demikian kendatipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa dilecehkan atau disepelekan.[12]

C.      Analisis
Ø  Persamaan kedudukan mahar dalam fiqh dengan KHI adalah sebagai berikut:
1.      Dalam kompilasi hukum islam (KHI) BAB IV pasal 30 dikatakan bahwa : calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Demikian pula, dalam syari’at islam khususnya fiqh munakahat, pria wajib membayar mahar kepada calon istrinya.
2.      Dalam pasal 31 dinyatakan bahwa: penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran islam. Demikian pula, dalam fiqh munakahat yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits diterangkan bahwa perempuan yang baik dan membawa berkah adalah perempuan yang murah atau sederhana maharnya. Mahar diukur menurut kemampuan pihak mempelai laki-laki.
3.      Dalam pasal 33 dikatakan bahwa : (1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai; (2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui penyerahan mahar boleh ditangguhkan, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria. Demikian pula halnya dalam hukum perkawinan Islam atau fiqh munakahat, mahar dapat dilakukan secara kontan atau tidak kontan.[13]

Ø  Perbedaan kedudukan mahar antara KHI dengan hukum perkawinan islam adalah sebagai berikut:
1.      Dalam KHI pasal 34 ayat (1) dikatakan bahwa: Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dan syarat perkawinan, sedangkan dalam hukum perkawinan islam, sebagaimana dikatakan oleh Slamet Abidin (1999:107) bahwa mahar merupakan syarat sahnya perkawinan, bahkan Malik menyatakan bahwa mahar sebagai rukun nikah. Dalam KHI, mahar bukan rukun, juga bukan syarat dalam nikah. Dalam KHI bab IV Rukun dan syarat perkawinan Bagian kesatu mengenai rukun pada pasal 14 dikatakan bahwa untuk melangsungkan pernikahan harus ada: a) calon istri, b) calon suami c) wali nikah d) dua orang saksi e) ijab dan qabul. Dalam pasal itu mahar tidak termasuk rukun, padahal menurut hukum perkawinan islam, nikah tanpa mahar tidak sah, sama dengan nikah tanpa akad. Adapun yang dimaksud dengan kata “menyerahkan mahar” artinya memberikannya kepada calon istri dan hukumnya wajib.[14]













BAB III

KESIMPULAN

1        .Mahar  dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda ataupun dalam bentuk jasa ( memerdekakan , mengajar , dan lain sebagainya.
2        Hakekat fungsi dan besarnya mahar , mahar adalah pemberian wajib dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan yang berfungsi untuk menghalalkan hubungan antara keduanya dan besarnya tidak ditentukan atau tidak dibatasi yang merupakan semampunya dari pihak calomn suami yang penting layak untuk diberikan dan calon istri tidak merasa disepelekan dengan adanya pemberian mahar tersebut.
3        Mahar dalam perspektif fiqh, bahwa Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita dengan memberi hak kepadanya diantaranya adalah hak untuk menerima mahar (mas kawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri kecuali dengan ridlo dan kerelaan sang istri.
4        Mahar dalam perspektif KHI mahar diatur di dalam pasal 30 sampai pasal 38 didalam pasal 30 dinyatakan:
Calon mempelai pria, wajib membayar mahar kepada calon mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Namun dalam penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa dilecehkan atau disepelekan.

DAFTAR PUSTAKA

Tihami. Fiqh munakahat (kajian fiqh nikah lengkap).Jakarata: PT Raja Gravindo Persada,2009
Al-Sayyid Hawwas, Abdul Wahab. Kunikahi Engkau Secara Islami.Bandung: Pustaka Setia,cet:1, 2007
Durachman,Budi. Kompilasi Hukum Islam.Bandung: Fokus Media,cet:1.2005
Amiur nurudin, Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media,cet:1, 2004
Saebani, Beni Ahmad. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia,cet:1,2001
http://agendamerah.wordpress.com/2012/03/18/arti-sebuah-mahar-mas-kawin-dalam-perkawinan/





















[1]. Dr.H.Amiiur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:Prenada Media,cet 1.2004) hal.,54
[2] .Prof.Dr.H.M.A.Tihami,M.M.,M.H, Fiqih Munakahat (Jakarta:PT Raja Gravindo Persada,2009)hal.,37
[3] http://agendamerah.wordpress.com/2012/03/18/arti-sebuah-mahar-mas-kawin-dalam-perkawinan/

[4].Drs.Beni Ahmad Saebani,M.SI.Fiqh Munakahat (Bandung:CV PUSTAKA SETIA,2001)Hal.,265-266
[5] Ibid,Hal.,167
[6] .Ibid,Hal.,162
[7] Ibid,Hal.,66
[8] .Dr.Abdul Wahab Al-Sayyid Hawwas, Kunikahi Engkau Secara Islami (Bandung:Pustaka Setia,2007).Hal.,220
[9] .Ibid, Hal.,42
[10] .Ibid, Hal.,43
[11] Budi Durachman,Kompilasi Hukum Islam (Bandung:Fokus Media,2005).Hal.,14
[12] .Ibid, Hal.,66
[13] .Ibid, Hal.,289-290
[14] .Ibid, Hal.,290-291

Tidak ada komentar:

Posting Komentar