MAHAR
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Hukum Perdata Islam di Indonesia (KHI)’’
Disusun Oleh :
Indah Fitriana : 210210058
Dosen Pengampu :
Dr. Miftahul Huda, M.Ag.
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDY MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
OKTOBER 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Akad apapun dikatakan sah apabila memenuhi beberapa konsekuensi
dalam pelaksanaanya. Akad pernikahan termasuk akad yang paling rumit ,urusannya
penting, dan konsekuensinya besar. Agar dikatakan sah,akad pernikahan harus
melalui beberapa tahapan , diantaranya saja hak kedua mempelai ,apa hak yang
khusus bagi mempelai perempuan ,dan apa hak bagi mempelai laki-laki terhadap
istrinya.
Berbicara tentang konsekuensi pernikahan , kita harus memaparkan
hak-hak tersebut satu persatu . Pertama,kita akan mulai dari hak-hak perempuan
. Adapun hak-hak istri yang wajib dipenuhi salah satunya adalah mas kawin . Mas kawin atau sering
disebut dengan mahar menjadi konsekuensi harta yang esensial bagi akad
pernikahan.
Oleh karena itu kami kan membahas hakekat mahar dan yang berkaitan
dengan mahar atau mas kawin dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian , hakekat , fungsi dan besarnya mahar
2.
Mahar dalam perspektif fiqh
3.
Mahar dalam perspektif KHI
BAB II
PEMBAHASAN
A.
.Penjelasan Istilah
Kata mahar yang
telah menjadi menjadi bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-mahr
, jama’nya al-muhur atau al-muhurah. Kata yang semakna dengan
mahar adalah al shadaq,nihlah, faridhah, ajr, dan ‘ala’iq serta nikah .
Kata- kata tersebut dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan mahar atau mas
kawin.
Secara istilah
mahar diartikan sebagai “harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan
adanya akad atau dukhul”.[1]
Atau mahar juga
dapat diartikan sebagai suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada
calon istrinya, baik dalam bentuk benda ataupun dalam bentuk jasa (
memerdekakan , mengajar , dan lain sebagainya ).[2]
1.
Hakekat mahar
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai
uang, sebab mahar adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya
seorang dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta
oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa
lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi. Bukan
semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal
tidak ada harganya.
Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang
dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu
adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada
istri. Jadi sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta
yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah,
kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaan atau benda berharga
lainnya.
Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat
shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya
dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang
punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon
istrinya.[3]
2.
Mahar dalam perspektif fiqh
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita dengan
memberi hak kepadanya diantaranya adalah hak untuk menerima mahar (mas kawin).
Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita
lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh
menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri kecuali dengan
ridlo dan kerelaan san istri. Allah SWT berfirman:
واتواالنساءصدقتهن
نحلة فان طبن لكم عن شئ منه نفسا فكلوه هنيا مرىآ (النساء: ع)
Artinya:
“ Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka meyerahkan kepada kamu
sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu
(sebagai makanan) yang sebaik-baiknya.” (Q.S. An-Nisa’:4)
Para ulama’ sepakat bahwa mahar
wajib diberikan oleh suami kepada istrinya, baik kontan ataupun dengan cara
tempo. Pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad
pernikahan dan tidak dibenarkan menguranginya. Jika suami menambahnya, hal itu
lebih baik dan sebagai shodaqo, yang dicatat yang dicatat sebagai mahar secara
mutlak yang jenis dan jumlahnya, sesuai akad nikah.[4]
Imam Syafi’i, Imam Malik dan Abu
Dawud mewajibkan pembayaran mahar sepenuhnya apabila terjadi khalwat.
Apabila telah terjadi khalwat antara suami-istri, dan dapat dijadikan
dan dapat dijadikan dasar bahwa terjadi dukhul (persetubuhan) antara
keduanya, pihak suami wajib membayar mahar sepenuhnya sebagaimana kesepakatan
yang telah ditetapkan dalam akad nikah. Akan tetapi, apabila terdapat alat-alat
bukti yang dapat menimbulkan keyakinan bahwa sekalipun keduanya telah berkhalwat,
belum terjadi persetubuhan, dalam hal ini kalau suami menceraikan istrinya, ia
tidak wajib membayar mahar sepenuhnya karena belum terjadi dukhul dan
suami wajib membayar separuhnya saja.[5]
3.
Fungi mahar
Mahar bukanlah pembayaran yang seolah-olah menjadikan perempuan
yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam
syari’at islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan
yang sejak zaman jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya
mahar, status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjual
belikan. Sayyid Sabiq mengatakan bahwa
salah satu usaha islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan wanita,
yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya. Adanya hak mahar bersamaan pula
dengan hak-hak perempuan lainnya yang sama dengan kaum laki-laki, sebagaimana
adanya waris dan hak menerima wasiat.[6]
Dan juga untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat
dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah untuk menceraikan
istrinya sesukanya serta untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suuami
istri.[7]
4.
Besarnya mahar
Ulama’ fiqh sepakat bahwa tidak ada batasan minimal dan maksimal
jumlah mahar yang harus diberikan. Jumlahnya terserah pada kemampuan mempelai
laki-laki asal dianggap layak. Tidak ada ketentuan dalam agama yang menunjukkan
batasan maksimal yang tidak boleh melebihi hal itu.[8] Imam syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan
fuqaha madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas
minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain
dapat dijadikan mahar. Tetapi sebagian
fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik
dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar
emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang
sebanding berat emas perak tersebut.[9] Mereka yang berpendapat mahar tidak ada
batasannya karena mengikuti bahwa sabda Nabi SAW.,” Nikahlah walaupun hanya
dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan
terendahnya. Karena, jika memang ada batasan terendahnya tentu beliau
menjelaskannya.[10]
B.
Perspektif KHI
Di dalam KHI, mahar diatur di dalam pasal 30 sampai pasal 38
didalam pasal 30 dinyatakan:
Calon mempelai
pria, wajib membayar mahar kepada calon mempelai perempuan yang jumlah, bentuk
dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal yang juga
sangat penting diperhatikan adalah terdapat di dalam pasal 31 yang berbunyi:
Penentuan mahar
berdasarkan atas asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh agama
islam.[11]
Dengan demikian
kendatipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus
mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga
mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal
ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa dilecehkan atau
disepelekan.[12]
C.
Analisis
Ø Persamaan
kedudukan mahar dalam fiqh dengan KHI adalah sebagai berikut:
1.
Dalam kompilasi hukum islam (KHI) BAB IV pasal 30 dikatakan bahwa :
calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang
jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. Demikian pula,
dalam syari’at islam khususnya fiqh munakahat, pria wajib membayar mahar kepada
calon istrinya.
2.
Dalam pasal 31 dinyatakan bahwa: penentuan mahar berdasarkan asas
kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran islam. Demikian pula,
dalam fiqh munakahat yang didasarkan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits diterangkan
bahwa perempuan yang baik dan membawa berkah adalah perempuan yang murah atau
sederhana maharnya. Mahar diukur menurut kemampuan pihak mempelai laki-laki.
3.
Dalam pasal 33 dikatakan bahwa : (1) Penyerahan mahar dilakukan
dengan tunai; (2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui penyerahan mahar
boleh ditangguhkan, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum
ditunaikan penyerahannya menjadi utang calon mempelai pria. Demikian pula
halnya dalam hukum perkawinan Islam atau fiqh munakahat, mahar dapat dilakukan secara
kontan atau tidak kontan.[13]
Ø Perbedaan
kedudukan mahar antara KHI dengan hukum perkawinan islam adalah sebagai
berikut:
1.
Dalam KHI pasal 34 ayat (1) dikatakan bahwa: Kewajiban menyerahkan
mahar bukan merupakan rukun dan syarat perkawinan, sedangkan dalam hukum
perkawinan islam, sebagaimana dikatakan oleh Slamet Abidin (1999:107) bahwa
mahar merupakan syarat sahnya perkawinan, bahkan Malik menyatakan bahwa mahar
sebagai rukun nikah. Dalam KHI, mahar bukan rukun, juga bukan syarat dalam
nikah. Dalam KHI bab IV Rukun dan syarat perkawinan Bagian kesatu mengenai
rukun pada pasal 14 dikatakan bahwa untuk melangsungkan pernikahan harus ada:
a) calon istri, b) calon suami c) wali nikah d) dua orang saksi e) ijab dan
qabul. Dalam pasal itu mahar tidak termasuk rukun, padahal menurut hukum
perkawinan islam, nikah tanpa mahar tidak sah, sama dengan nikah tanpa akad.
Adapun yang dimaksud dengan kata “menyerahkan mahar” artinya memberikannya
kepada calon istri dan hukumnya wajib.[14]
BAB III
KESIMPULAN
1
.Mahar dapat diartikan
sebagai suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya,
baik dalam bentuk benda ataupun dalam bentuk jasa ( memerdekakan , mengajar ,
dan lain sebagainya.
2
Hakekat fungsi dan besarnya mahar , mahar adalah pemberian wajib
dari calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan yang berfungsi
untuk menghalalkan hubungan antara keduanya dan besarnya tidak ditentukan atau
tidak dibatasi yang merupakan semampunya dari pihak calomn suami yang penting
layak untuk diberikan dan calon istri tidak merasa disepelekan dengan adanya
pemberian mahar tersebut.
3
Mahar dalam perspektif fiqh, bahwa Islam sangat memperhatikan dan
menghargai kedudukan wanita dengan memberi hak kepadanya diantaranya adalah hak
untuk menerima mahar (mas kawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada
calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat
dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun
oleh suaminya sendiri kecuali dengan ridlo dan kerelaan sang istri.
4
Mahar dalam perspektif KHI mahar diatur di dalam pasal 30 sampai
pasal 38 didalam pasal 30 dinyatakan:
Calon
mempelai pria, wajib membayar mahar kepada calon mempelai perempuan yang
jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Namun dalam penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas
kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh
memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal ada atau apa
adanya, sehingga calon istri tidak merasa dilecehkan atau disepelekan.
DAFTAR PUSTAKA
Tihami. Fiqh
munakahat (kajian fiqh nikah lengkap).Jakarata: PT Raja Gravindo
Persada,2009
Al-Sayyid
Hawwas, Abdul Wahab. Kunikahi Engkau Secara Islami.Bandung: Pustaka
Setia,cet:1, 2007
Durachman,Budi.
Kompilasi Hukum Islam.Bandung: Fokus Media,cet:1.2005
Amiur nurudin,
Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media,cet:1, 2004
Saebani, Beni
Ahmad. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia,cet:1,2001
http://agendamerah.wordpress.com/2012/03/18/arti-sebuah-mahar-mas-kawin-dalam-perkawinan/
[1]. Dr.H.Amiiur Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Jakarta:Prenada Media,cet 1.2004) hal.,54
[2] .Prof.Dr.H.M.A.Tihami,M.M.,M.H, Fiqih Munakahat (Jakarta:PT Raja
Gravindo Persada,2009)hal.,37
[4].Drs.Beni Ahmad Saebani,M.SI.Fiqh Munakahat (Bandung:CV PUSTAKA
SETIA,2001)Hal.,265-266
[5] Ibid,Hal.,167
[6] .Ibid,Hal.,162
[7] Ibid,Hal.,66
[8] .Dr.Abdul Wahab Al-Sayyid Hawwas, Kunikahi Engkau Secara Islami
(Bandung:Pustaka Setia,2007).Hal.,220
[9] .Ibid, Hal.,42
[10] .Ibid, Hal.,43
[11] Budi Durachman,Kompilasi Hukum Islam (Bandung:Fokus
Media,2005).Hal.,14
[12] .Ibid, Hal.,66
[13] .Ibid, Hal.,289-290
[14] .Ibid, Hal.,290-291
Tidak ada komentar:
Posting Komentar